Muhammad Farhan Balatif | topik.co.id |
"Di hari kemerdekaan Indonesia (yang) ke-72, gue akan merayakannya dengan menginjak foto Jokowi. Gue berharap di waktu yang akan datang bisa menginjak kepala Jokowi sampai pecah, bila perlu otaknya juga berserakan di tanah. #DirgahayuIndonesia72," demikian postingan di FB atas nama Ringgo Abdillah.
Tak butuh waktu lama, polisi menciduk Muhammad Farhan Balatif (18) dari kediamannya di Jalan Bono Nomor 58F, Kelurahan Glugur Darat 1, Medan Timur, Medan, Jumat (18/8/2017) malam lalu. Dia ditangkap atas dugaan menghina lambang negara, Presiden Indonesia Joko Widodo dan Institusi Polri. "Saya tak takut polisi. Saya punya senjata. Jokowi PKI tulen," demikian postingan lainnya yang ditulis Ringgo Abdillah di FB-nya.
Informasi akunnya menjelaskan, ia bekerja sebagai mekanik di Bengkel Mitsubishi Berlian Maju Motor di Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Selain itu dalam akunnya tercatat ia pernah menimba ilmu di SMA Negeri 4 Medan. Dan mengaku berdomisili di Palembang.
Dalam status yang ditulisnya, dia selalu mengungkapkan kebencian kepada Presiden Joko Widodo dan Kepolisian Republik Indonesia. Dengan beraninya Muhammad Farhan Balatif mengatakan dia tidak takut kepada polisi. Dia menantang polisi untuk segera menangkapnya. Selain tidak sabar untuk ditangkap, ia juga mengancam akan menembak kepala polisi jika datang ke rumahnya.
Motif tersangka MHF alias Ringgo Abdillah alias Raketen Warnung, menggunakan jaringan wifi secara ilegal. Ia mencoba memprovokasi netizen agar membenci Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Institusi Polri. Tersangka membobol wifi tetangganya Muhammad Reza alias Gagna. Setelah membobol wifi tetangganya, tersangka membuat akun surat elektronik, Facebook dan twitter.
"Modusnya, tersangka ini mengaku membenci Presiden Jokowi dan Kapolri," kata Kapolda Sumut Irjen Polisi Paulus Waterpauw dalam jumpa pers di Aula Tribrata, Markas Polda Sumut, Medan, Senin (21/8/2017).
Bersamaan dengan mengamankan Farhan, polisi juga mengamankan dua buah laptop yang digunakan untuk mengedit foto Presiden dan Kapolri, menggunakan akun Facebooknya untuk menyebarkan foto penghinaan yang telah diedit tersebut. Selain laptop, polisi juga menyita sebuah flashdisk dengan kapasitas 16 GB. Dalam flashdisk tersebut ditemukan gambar Presiden yang telah diedit.
Selain itu, polisi juga mengamankan barang bukti berupa 1 unit laptop merek Lenovo Z40-75 hitam dan casnya, 1 unit laptop merek Lenovo G475 hitam, 2 unit android dual sim merek Evercoss hitam, 2 unit ponsel Nokia, selembar kertas yang berisi alamat akun, 2 unit router, akun Facebook atas nama Ringgo Abdillah, akun surat elektronik: daniel.emiran@yahoo.com.
"Untuk perbuatannya, tersangka, kami kenakan dua pasal yaitu pasal 46 UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, karena dia menulis dan menyebarluaskan ujaran kebencian. Ancaman penjara enam tahun dan dan pasal 30 terkait mengambil akses milik orang lain," terang Paulus Waterpauw.
Alasan tersangka menulis dan menyebarluaskan ujaran kebencian kepada Presiden, Kapolri dan Institusi Polri, menurut Kapolrestabes Medan Kombes Sandi Nugroho, lantaran tidak puas dengan kinerja pemerintah dan kepolisian.
"Dari hasil pemeriksaan, yang sampai saat ini masih berjalan, tersangka merasa tidak puas terhadap pemerintah dan kepolisian. Sehingga ia mengeluarkan ujaran kebencian, yang dia tulis di media sosial khususnya Facebook dengan akun palsu tapi memanfaatkan jaringan internet orang lain secara ilegal," bebernya.
Terkait kepemilikan 2 laptop, lebih jauh Sandi mengatakan, kedua laptop itu digunakan korban untuk kejahatan, baik menulis ujaran kebencian maupun mengedit foto. "Tersangka ini fasih dua bahasa, Inggris dan Prancis. Ia belajar otodidak. Ia juga belajar sendiri mengedit foto dan software," tambahnya.
Dugaan terkait adanya aktor intelektual atau afiliasi dengan partai politik tertentu, di balik kasus ini, Sandi menepisnya. Ia menegaskan, hasil penyelidikan sampai kini, sementara pelakunya masih tunggal. "Sementara murni tunggal. Namun tetap kami dalami," katanya lagi.
Meski usia pelaku 18 tahun dan pelajar SMK yang putus sekolah, menurut Kapolda Sumut, kasus ini tetap berlanjut proses hukumnya, tanpa ada pengistimewaan. Alasannya proses hukum berlanjut, karena ini bukan delik aduan, melainkan terjerat UU ITE. "Soal usianya, anak ini sudah cukup dewasa. Jadi pasti lanjut," jawabnya.
Menyikapi mudahnya orang menyalahgunakan media sosial untuk menyebar fitnah, ujaran kebencian dan hoaks, Kapoldasu mengatakan pihaknya saat ini terus berbena dan memperlengkapi para personil agar menjadi polisi yang profesional dan dapat menghadapi tantangan abad 21. "Kita sedang siapkan dan perlengkapi polisi kita supaya lebih profesional lagi," pungkasnya.
[TM1]